Senin, 19 Juli 2010

SUSI SUSANTI

Dari kalangan paling bawah hingga masyarakat elit rasanya sudah tahu siapa dan apa prestasi beliau. Tapi bagaimana dengan kehidupannya setelah gantung raket?



Lahir di Tasikmalaya, 11 Februari 1971 (tepat 38 th hari ini), dg nama lengkap Lucia Franscisca Susi Susanti adalah seorang pemain bulutangkis terbesar yg pernah dimiliki Indonesia bahkan dunia.

Masa keemasannya yang berlangsung cukup panjang, berpuncak pada juara tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona, Spanyol (1992). Dia peraih emas pertama Indonesia di Olimpiade. Ketika itu Alan, pacarnya, juga juara di tunggal putra sehingga media asing menjuluki mereka sebagai "Pengantin Olimpiade". Predikat pengantin ini rupanya terus melekat, terbukti saat mereka dipercaya menjadi pembawa obor Olimpiade Athena 2004 dan Beijing 2008.

Prestasi yang mengharumkan nama bangsa juga diukir oleh Susi dengan meraih sederetan kejuaraan. Dia menjuarai All England empat kali (1990, 1991, 1993, 1994). Sang juara yang punya semangat pantang menyerah ini selalu menjadi ujung tombak tim Piala Sudirman dan Piala Uber. Juga juara dunia (1993) dan puluhan gelar seri grand prix.

Kiprah Susi Susanti di dunia olahraga bulutangkis Indonesia memang luar biasa. Dalam setiap pertandingan, ia menunjukkan sikap tenang bahkan terlihat tanpa emosi di saat-saat angka penentuan. Semangatnya yang pantang menyerah meski angkanya tertinggal jauh dari lawan membuat banyak pendukungnya menaruh percaya bahwa Susi pasti menang.


Susi juga turut menyumbang sukses tahun 1989 ketika Piala Sudirman direbut tim Indonesia untuk pertama kalinya dan sampai sekarang belum lagi berulang. Dia pun turut menorehkan sukses saat merebut Piala Uber tahun 1994 dan 1996 setelah piala itu absen lama dari Indonesia.

Semenjak SD, Susi sudah suka bermain bulutangkis. Kebetulan orang tuanya juga sangat mendukung dan memberinya kebebasan untuk menjadi atlit bulutangkis. Setelah menang kejuaraan junior, ia pindah dari Tasikmalaya ke Jakarta. Meski saat itu ia masih duduk di bangku kelas 2 SMP, ia sudah mulai berpikir untuk serius di dunia bulutangkis.

Kegiatan Susi berbeda dengan remaja lain karena ia tinggal di asrama dan bersekolah di sekolah khusus untuk atlit. Ia mengaku menjadi kuper karena hanya berteman dengan sesama atlit. Bahkan pacaran pun dengan atlit.

Sebagai atlit, jadwal latihannya sangat padat. Enam hari dalam seminggu, Senin - Sabtu dari jam 7 sampai jam 11 pagi, lalu disambung lagi jam 3 sore sampai jam 7 malam. Makan, jam tidur, dan pakaian juga ada aturannya tersendiri. Ia tidak diperbolehkan memakai sepatu dengan hak tinggi agar kakinya terhindar dari kemungkinan keseleo. Jalan-jalan ke mal pun hanya bisa dilakukannya pada hari Minggu. Itu pun jarang karena ia sudah terlalu capek latihan.

Memang tidak ada pilihan lain, ia harus disiplin dan berkonsentrasi untuk menjadi juara. Ia akhirnya menyadari bahwa untuk meraih prestasi memang perlu perjuangan dan pengorbanan. “Kalau mau santai dan senang-senang terus, mana mungkin cita-cita saya untuk jadi juara bulutangkis tercapai? Sekarang rasanya puas banget melihat pengorbanan saya ada hasilnya. Ternyata benar juga kata pepatah: Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,” kata Susi mengenang.

Ketika masih menjadi pemain, Susi berusaha menjadikan dirinya sebagai contoh bagi para pemain lainnya. Ia sangat berdisiplin dengan waktu saat berlatih atau di luar latihan. Sementara di lapangan ia memperlihatkan semangat pantang menyerah sebelum pertandingan berakhir. "Saya hanya berharap teman-teman pemain mengikuti yang baik-baik dari saya," kata Susi.

Nyatanya, cara ini tidak melulu berhasil. Sepeninggal Susi (dan Mia Audina), sektor putri bulutangkis Indonesia seperti jalan di tempat. Piala Uber semakin jauh dan puncaknya, tidak satu pun pemain tunggal puteri Indonesia lolos ke Olimpiade Athena 2004.

Susi yang telah mundur mengakui merosotnya prestasi karena memang kekurangan bibit pemain unggul. "Kita bisa saja memberi prasyarat pemain untuk berhasil, tetapi kalau bibitnya tidak ada bagaimana?" Susi melihat popularitas bulutangkis semakin merosot sementara proses seleksi melalui kejuaraan antarklub dan daerah semakin sedikit.

Merasa Sedih


Susi merasa sedih karena olahraga bulutangkis tidak lagi dipandang antusias oleh masyarakat. Ia mengingat betapa antusiasnya masyarakat menyambut kejuaraan bulutangkis seperti All England. Susi melihat hal ini disebabkan karena perhatian anak-anak muda masa kini lebih ke hiburan. Belum lagi maraknya kasus penyalahgunaan obat terlarang, seperti shabu dan narkotika.

Masyarakat juga lebih banyak membaca, mendengar, atau menyaksikan berita-berita kekalahan pebulutangkis Indonesia lewat media massa. Itu tentu berbeda dengan era Tan Joe Hok cs, Liem Swie King, hingga Ardy B. Wiranata cs yang banjir mahkota juara.

Keadaan semakin rumit karena orang takut serius terjun di dunia olahraga Indonesia karena tidak jelasnya jaminan akan masa depan. Susi sendiri sudah berniat tidak akan mengijinkan anaknya terjun ke dunia olahraga mengingat pengalamannya dulu. Ia melihat banyak rekannya yang pernah menjadi juara SEA Games, Asian Games, namun hidupnya terkatung-katung.

Selain itu, menjadi atlet olahraga membutuhkan banyak resiko misalnya sekolah yang terhenti, padahal olahraga yang ditekuni tidak mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Susi sendiri terpaksa mengorbankan sekolah (hanya sampai SMA). Ia pun menghadapi banyak halangan sebab ada pihak-pihak dari organisasi yang tidak menyukainya. Meski ia berprestasi namun kemudian berhenti, dari situlah ia mendapat pengalaman bahwa bulutangkis belum bisa menjamin masa depannya.

Ia berharap bagi para atet berprestasi yang sudah tidak bermain diberikan dana pensiun yang memadai. Ia khawatir kalau persoalan masa depan atlet belum terpecahkan atau tidak ada jaminan dari pemerintah, bibit-bibit potensial atlet akan sulit ditemukan karena mereka akan memilih jalur pendidikan. "Saya harap PBSI dan KONI memerhatikan persoalan ini. Kalau ini dibiarkan terus, hasilnya akan seperti sekarang ini," ujarnya.

Ia menyesalkan masalah pembinaan yang membuat olahraga semakin terpuruk. Selama ini, hanya kesadaran dari keluarga masing-masing yang ingin anaknya menjadi pemain bukan karena pemerintah ingin memajukan olahraga. Pemerintah dan PBSI hanya menunggu, bukan membina dari daerah, memantau, mencari yang berbakat, baru diambil. Mereka hanya terima jadi saja. Ia beranggapan, semua orangtua saat ini akan seratus kali berpikir untuk membiarkan anaknya menjadi atlet.

Susi mengaku mempunyai pengalaman yang mengecewakan terutama dalam organisasi. Ketika ia dan Alan berprestasi, ada pihak-pihak tertentu yang tidak senang. Mereka berusaha membagi bonus kepada Susi dan Alan dengan asumsi mereka berdua dianggap satu orang. Hal ini menunjukkan sikap tidak profesional pemerintah maupun PBSI yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu.

Dari segi organisasi internal, Susi berharap agar orang-orang yang terlibat di PBSI (Persatuan Bulutangkis seluruh Indonesia) adalah orang yang benar-benar ingin memajukan perbulutangkisan, bukan untuk kepentingan pribadi.

Melihat keadaan dunia olahraga yang belum menjanjikan bagi para atlit, Susi belajar dari pengalaman kakak-kakak seniornya. Susi belajar me-manage keuangannya. Saat ia meraih berbagai prestasi dan hadiah seperti bonus, ia usahakan untuk diinvestasikan ke dalam bentuk tanah, rumah atau tabungan. Ia tahu bahwa prestasi olahragawan itu singkat dan tidak selamanya berada di atas.

Kedua orang tuanya pun sering berpesan agar ia tidak sombong dan hidup sederhana. Susi juga banyak mendapat masukan dari Ir. Ciputra, seorang pengusaha sukses yang dulu merupakan pimpinannya di Klub Bulutangkis Jaya Raya, agar mempergunakan waktu sebaik mungkin dan giat berprestasi sebisa mungkin.

Ketika berhenti dari dunia bulutangkis, Susi harus memulai dari nol lagi. Meski ada modal dari pendapatan saat aktif di bulutangkis, Susi masih harus belajar dan bersabar mencari usaha apa yang akan ia jalankan. Suaminya, Alan Budikusuma, berulang kali mencoba berbagai jalan untuk menghidupi keluarga mulai dari jual beli mobil, dibantu menjadi rekanan di sebuah instansi, belajar menjadi agen Gozen (alat olahraga bikinan Malaysia) dan menjadi pelatih di Pelatnas. Itu semua menjadi bukti bahwa bahwa setelah tidak berprestasi, mereka berdua harus memulai lagi dari nol.

Untunglah, Susi dan Alan mendapat dukungan dari orang-orang yang terdekatnya. Sedikit demi sedikit mereka belajar menimba pengalaman dan pengetahuan. Baru sekitar satu setengah tahun, mereka bisa berdiri sendiri dan mempunyai keyakinan membuat usaha sendiri.

Sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh tiga orang anak, anak pertama perempuan bernama Lourencia Averina, sedangkan yang kedua dan ketiga adalah lelaki; Albertus Edward dan Sebastianus Frederick, Susi juga ingin ikut membantu keluarga. Bila anak-anaknya sekolah, ia ingin mempunyai kesibukan tetapi tidak menyita waktu untuk keluarga.

Oleh karena itu, ia membuka toko di ITC Mega Grosir Cempaka Mas dengan nama D&V dari nama kedua anaknya, Edward dan Verin. Ia menjual baju-baju dari Cina, Hongkong, dan Korea, dan sebagian produk lokal.

Sebagai mantan atlit bulutangkis, peraih penghargaan tertinggi bulutangkis dari International Badminton Federation (IBF) ‘Hall of Fame’ 2004 ini tetap peduli dengan dunia yang pernah membesarkannya ini. Bersama suaminya, Alan Budi Kusuma - peraih medali emas Olimpiade 1992 pula - ia mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading. Di gedung pusat pelatihan bulutangkis ini, Susi berharap akan muncul bibit pemain yang akan mengembalikan kejayaan bulutangkis Indonesia.

Selain itu, pada pertengahan tahun 2002, Susi dan Alan membuat raket dengan merek sendiri yaitu Astec, Alan-Susi Technology. Meski pabriknya ada di Taiwan, tetapi senar yang digunakan adalah senar Jepang. Cara pembuatan dan sebagainya, dikontrol oleh mereka sendiri. Pada awalnya mereka mencoba produknya ke teman-teman mereka untuk mencari tahu produk mana yang paling bisa diterima. Baru setelah itu, produk dipasarkan.

Hal yang tidak terlupakan bagi Susi adalah saat ia berhasil menyumbangkan emas Olimpiade yang pertama bagi Indonesia di Barcelona (Olimpiade Barcelona 1992) bersama Alan Budikusuma yang juga mendapatkan emas. Sedangkan yang paling mengesalkan baginya adalah saat ia kalah hanya satu poin dari Sarwendah (Kusumawardhani) di final Piala Dunia di Jakarta.

Kini pasangan yang menikah pada 9 Februari 1997 ini tinggal di rumah mereka nan tenang di Gading Kirana Timur I Blok B2 No. 28, Komplek Gading Kirana, Jakarta Utara. Di komplek perumahan ini Susi dan Alan masih rutin main bulutangkis. Mereka rutin ngaskus juga ngga ya??

Berikut ini daftar prestasi yang pernah ditorehkan oleh Susi :

* Medali Emas Olimpiade Barcelona 1992
* Medali Perunggu Olimpiade Atlanta 1996
* Juara World Championship 1993
* Juara All England 1990, 1991, 1993, & 1994
* Juara World Badminton Grand Prix 1990, 1991, 1992, 1993, 1994, & 1996
* Juara Indonesia Open 1989, 1991, 1994, 1995, 1996, & 1997
* Juara Malaysia Open 1993, 1994, 1995, & 1997
* Juara Japan Open 1992, 1994, & 1995
* Juara Korea Open 1995
* Juara Dutch Open 1993
* Juara Denmark Open 1991 & 1992
* Juara Thailand Open 1991, 1992, 1993, & 1994
* Juara Swedish Open 1991
* Juara China Taipei Open 1991 & 1994
* Juara Piala Uber 1994 & 1996 (Tim Piala Uber Indonesia)

Ketika menjadi pemain, Susi Susanti identik dengan rambut dikuncir ala ekor kuda dan poni, dropshot silang, serta rentangan kaki ke lapangan untuk menyelamatkan bola sulit. Pebulutangkis asal Tasikmalaya itu juga langganan juara. Selama sepuluh tahun berkarir, gelar grand prix, kejuaraan dunia, hingga Olimpiade pernah dia rebut.

Setelah sepuluh tahun lebih gantung raket, penampilan Susi banyak berubah. Kuncir rambut dan poni sudah tidak ada lagi. Susi membiarkan rambutnya yang sebahu, terurai. Dengan tubuh yang tidak lagi tampak atletis, Susi berpenampilan seperti ibu-ibu kebanyakan.


''Junior (anak) saya sudah ada tiga, wajar kan kalau tak selangsing dulu,'' kata Susi pada Jawa Pos sambil menyuap putra keduanya, Albertus Edward di rumahnya di kawasan perumahan elite Gading Kirana, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Dari pernikahannya dengan Alan Budikusuma dua belas tahun silam, Susi dikaruniai tiga orang anak. Laurencia Averina adalah putri pertama pengantin emas Olimpiade 1992 Barcelona tersebut. ''Saya pikir dua anak cukup, hamil dan melahirkan itu capek rasanya. Eh, kok malah diberi yang ketiga, ya sudah kan nggak bisa nolak lagi,'' kenang Susi seraya mengalihkan suapannya pada putra bungsunya, Sebastianus Fredrick .

Susi kini benar-benar menikmati ''karirnya'' sebagai seorang ibu. Setiap pagi, dia turun tangan langsung mempersiapkan segala keperluan anak-anaknya yang akan bersekolah. Termasuk untuk urusan mengantarkan anak-anak kesekolah.

Susi pun tidak pernah memaksa anaknya untuk menjadi atlet bulutangkis yang telah membesarkan namanya. Untuk mengikuti jejak sang ibu atau bapak, seharusnya mulai sekarang anak-anaknya mulai berlatih tepok bulu. Susi mulai turun ke lapangan sejak usia 5 tahun dan mulai serius melangkah menjadi pemain sejak berusia 7 tahun.

''Saya memberikan kebebasan kepada anak-anak. Mereka lebih memilih menyanyi untuk kegiatan sehari-hari. Sedangkan olahraganya aikido dan renang,'' bebernya.

Kelonggaran yang diberikan Susi itu tak lepas dari padatnya jadwal sekolah formal yang dilakoni anak-anaknya. Laurencia bahkan sudah harus meninggalkan rumah sejak pukul 06.00 WIB dan pulang ke rumah setelah pukul 14.00 WIB. Sedangkan dua putranya memulai aktivitas di sekolah mulai pukul 10.00 WIB dan tiba di rumah pada 14.00 WIB. ''Cuma setengah jam kami berkumpul, setelah itu 14.30 mereka harus berangkat ke tempat lesnya masing-masing,'' ucapnya.

Susi memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih karir karena merasa Indonesia belum memberikan jaminan apapun kepada seorang atlet. Tidak seperti Tiongkok maupun negara lain yang telah menyadari prestasi olahraga dapat membawa nama bangsa.

''Biarlah anak-anak saya fokus ke sekolah, kalau jadi atlet nggak bisa setengah-setengah. Dan sesudah prestasinya habis, sudah dia tak akan dipakai lagi. Kalau anak-anak mau memilih bulu tangkis dan ternyata bisa syukur, kalau tidak ya tidak apa-apa,'' tuturnya.

Selain sibuk mendampingi perkembangan dan pertumbuhan ketiga anaknya, Susi juga disibukkan dengan dua usaha yang dimilikinya, yakni Fontana Reflexy, serta perusahaan peralatan olahraga Astec (Alan & Susi Tecnology).

Semua kesibukan itu cukup menghabiskan waktu Susi. Karena itu, dia menolak ajakan PB PBSI untuk melatih di pelatnas Cipayung. Sumbangsih pada dunia bulutangkis dilakukan dengan cara menggelar kejuaraan usia dini.

9 Februari 1997 menjadi titik balik kehidupan Susi Susanti. Pada saat itu dia memutuskan untuk mengakhiri masa lajang. Pilihannya jatuh kepada rekannya di pelatnas Alan Budikusuma yang telah sepuluh tahun menjadi kekasihnya.

Pasangan yang dijuluki ''Pengantin Olimpiade'' tersebut sebenarnya masih haus gelar juara meski telah menikah. Namun, Tuhan berkehendak lain, pada tahun itu juga Susi hamil. ''Sebenarnya, saya masih ingin menyumbangkan emas untuk Indonesia dari Asian Games XIII di Bangkok Thailand. Rencananya, pada tahun ketiga menikah baru punya anak. Namun, Tuhan memberi karunia lebih cepat, saya pun meninggalkan bulutangkis,'' kenang Susi.

Pada tahun tersebut, prestasi Susi masih bagus. Dia berhasil menjadi juara Indonesia Open 1997 dan Badminton World Cup 1997. ''Saya tidak pernah menyesal karena mendapat momongan lebih cepat. Toh, saya sudah merasakan semua gelar,'' tandasnya.

Dari semua gelar yang pernah direbut Susi, emas Olimpiade Barcelona 1992 adalah yang paling berkesan. Itu adalah emas pertama bagi Indonesia dalam sejarah Olimpiade.


Gelar itu makin berkesan karena Alan juga sukses merebut emas. Sebutan Pengantin Olimpiade pun melekat pada mereka. ''Mungkin ada pasangan yang merebut dua emas Olimpiade. Tetapi, kadang beda tahun ataupun cabang olahraga. Seperti kami ini sangat sulit dilakukan,'' papar Susi penuh kebanggaan.

Dengan segala prestasinya, pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Utama pada 1992. Ratu Sirikit dari Thailand juga turut memberikan apresiasi berupa Penghargaan Ratu Sirikit di tahun yang sama.

Susi juga pernah masuk Guiness Book of Record alias daftar rekor dunia seperti halnya Rudy Hartono. ''Pada awalnya Saya tidak tahu kalau nama saya masuk daftar Guiness Book of Record. Saya baru tahu setelah diberi tahu Helmy Yahya (presenter) ketika menjadi bintang tamu dalam dalam salah satu acara di televisi,'' tuturnya.

Susi memulai karir bulutangkis di klub milik pamannya, PB Tunas Tasikmalaya. Di sana dia berlatih selama tujuh tahun. Setelah itu, dia hijrah ke PB Jaya Raya mulai 1985 hingga sekarang. ''Saya masih bermain untuk sekedar menjaga kondisi. Biasanya seminggu dua kali,'' ungkapnya.





-mbuyak-

Tidak ada komentar: