Kamis, 15 Juli 2010

MARIA KRISTIN YULIANTI

Maria Kristin Yulianti baru berusia 7 tahun sewaktu Susi Susanti mencatatkan diri dalam sejarah olimpiade Barcelona 1992. Susi menjadi atlet bulu tangkis pertama di dunia yang merebut emas olimpiade sekaligus meraih emas olimpiade pertama bagi Indonesia.
Oleh J WASKITA UTAMA


“Saya tahu Ci Susi dapat emas, tetapi tidak terlalu peduli. Waktu itu saya ti¬dak suka bulu tangkis" ujar Ma¬ria.
Tak pernah terbayang jika 16 tahun kemudian dia naik ke podium olimpiade dan menyaksikan benders Merah Putih dikibarkan di cabang yang dulu tidak disukainya itu. Dia memang belum seperti Susi yang berdiri di tengah, Ma¬ria berdiri di tepi dengan perolehan sebuah perunggu. Namun, hasil itu jauh melampaui perkiraan semua pihak, bahkan dirinya sendiri.Semua ini bermula di Tuban, sebuah kabupaten di pantai utara Jawa Timur. Dorongan kuat dari ayahnya, Yuli Purnomo membuat Maria kecil mulai ber¬latih bulutangkis dalam usia enam tahun. Bulu tangkis adalah olahraga kegemaran sang ayah, seorang petugas penyuluh pertanian lapangan yang juga me¬latih bulutangkis untuk anak-anak. "Sebenarnya saya tak suka bulu tangkis, lebih senang melihat bola voli tapi Bapak mendorong saya untuk main bulu tangkis" ujar Maria.

Maria ditolak masuk klub Djarum Kudus pada usia 10 ta¬hun karena badannya terlalu kecil. la meneruskan latihannya di klub JPNN Jember. Dia men¬coba lagi masuk Djarum Kudus dan diterima tahun 1998. Di klub ini, kecintaannya pada bulu tangkis mulai tumbuh.

"Saya masuk sekolah siang, pagi selalu berlatih dan ikut ke¬juaraan taruna. Lama-lama saya mulai senang dan berniat serius di bulutangkis daripada latihan dan sekolah berantakan dua-duanya" tutur Maria.

Karier Maria berlanjut hingga dia dipanggil masuk Pelatnas Cipayung tahun 2002. Belum lagi berusia 18 tahun, Maria sudah memperkuat tim Piala Sudirman Indonesia pada tahun 2003. Setelah itu Maria berkutat di turnamen level satellite, dengan ge¬lar internasional pertama direbutnya di Malaysia Satellite 2004.

Kegagalan tim Piala Uber pa¬da kualifikasi Piala Uber di Jai¬pur, India, Februari 2006, sem¬pat mengancam posisi Maria di pelatnas. PBSI pun mencanang¬kan program bersih-bersih dan memberi ultimatum kepada pa-rs pemain putri untuk tampil lebih balk atau keluar dari pelatnas. Maria menyambut tantangan ini dengan dua gelar juara tur¬namen satellite di Singapura dan Surabaya serta hasil terbaik di Banding pemain putri lainnya pada tur Eropa tiga Negara (Luksemburg, Denmark, dan Belanda).

Posisinya sebagai pemain nomor 1 tak tergeser meski di turnamen level superseries prestasinya belum beranjak dari 8 besar. Keadaan berubah setelah ke¬jutan tim Piala Uber Indonesia pada putaran final di Istora Se¬nayan, Jakarta, Mei lalu. Dengan Maria sebagai tunggal pertama, Indonesia di luar dugaan lolos ke final sebelum menyerah dari juara bertahan, China. Sukses ini membangkitkan kepercaya¬ an diri pada Maria.Bermodal inilah Maria mena¬tap Olimpiade 2008 dengan le¬bih percaya diri. Mengalahkan Schenk pada babak pertama, Maria semakin yakin setelah menang atas Rasmussen di 16 besar. "Awalnya saya pikir akan kalah dari Tine. Ternyata dia bi¬sa dilewati, jadi saya semakin yakin" ujarnya. Kejutan terbesar Maria dibuatnya pada perebutan tempat ketiga dengan menundukkan Lu Lan, sang harapan masa depan China. Maria pun mengembalikan reputasi tung¬gal putri Indonesia yang menunggu 12 tahun untuk kembali meraih medali dari olimpiade.

Seperti kacang tak lupa akan kulitnya, Maria mempersembahkan medali perunggu ini bagi Hendrawan, mantan pelatih tunggal putri dan Marleve Mai¬naky pelatihnya sekarang.
"Keduanya tetap mendukung saya saat mau dikeluarkan dari pe¬latnas. Ko Hendrawan juga yang bercita-cita tunggal putri Indo¬nesia tampil di Olimpiade Bei¬jing setelah gagal lolos ke Olimpiade Athena 2004," ujarnya.
Maria berterima kasih kepada Hendrawan yang tak hanya menjadi pelatih tetapi juga bisa menjadi teman bicara.
"Kami bisa ngobrol hal lain juga. Latihan tetap berat tetapi suasananya rileks dan masih bi¬sa bercanda. Ko Hendrawan tahbu kondisi kami sehingga kami tahu apa yang harus dilakukan di lapangan" ujarnya.

Dengan berjalannya waktu, Maria juga mulai menemukan polo permainannya sendiri. Senjata andalannya, yakni pukulan silang menukik dekat net yang kerap dikeluarkan setelah menguras tenaga lawan dengan bermain reli dan menempatkan bola ke sudut-sudut lapangan.

Uniknya, kemenangan Maria hampir selalu terjadi dalam tiga game, setelah kalah di game pertama. Petugas media Federasi Bulutangkis Dunia (BWF) sampai menjulukinya the queen of three games.
"Bukannya enggak mau menang lebih cepat, tetapi memang mainnya seperti itu. Di game pertama saya jarang langsung bisa in dengan permainan. Saya selalu memulai dengan lob, baue menyerang belakangan jika saatnya tepat, tak bisa seperti Fir¬da (Adrianti Firdasari, rekannya di pelatnas) yang langsung menyerang," ujar penggemar komik Conan dan novel teenlit ini.

Maria siap memenuhi harapan Indonesia untuk berprestasi lebih baik. "Saya tetap santai dan menikmati permainan. Tetapi saya sadar ada tanggung jawab, ada harapan dari orang lain untuk terus berprestasi. Sa¬ya harus lebih dewasa. Saya merasa sudah banyak kemajuan meski belum terlalu stabil," ujarnya.

la juga berharap keberhasilannya memicu pemain putri lain untuk berprestasi. Dia juga ingin tunggal putri di Indonesia tak lagi dipandang sebelah mata atau dianaktirikan pembinaannya.

"Pemain China bisa dikalahkan, saya sudah membuktikan. Mereka memang bagus tetapi kelasnya enggak jauh banget. Pemain putri Indonesia jangan dipandang sebelah mata. Rekan-rekan juga pasti bisa, asal diberi kesempatan bertanding lebih banyak lagi," ujarny

Tidak ada komentar: