Jumat, 16 Juli 2010

KETIKA MIA AUDINA PINDAH KE BELANDA

Sebagai penggemar bulutangkis, saya teramat menyayangkan keputusan seorang Mia Audina kala itu. Atlit muda regenerasi Susi Susanti itu akhirnya memutuskan hijrah ke Negeri Kincir Angin mengikuti sang suami yang juga berkewarganegaraan Belanda, Tylio Lobman. Padahal Mia Audina adalah satu-satunya atlet tunggal puteri Indonesia yang digadang-gadang akan menjadi pewaris prestasi Susi Susanti.

Mia yang sudah berhasil menjadi pahlawan bulutangkis nasional di usia 13 tahun, merupakan seorang pebulutangkis puteri berbakat. Pukulan-pukulan Mia yang tidak mudah diprediksi lawan, membuat beberapa lawan Mia yang baru berjumpa dengannya akan mengalami kesulitan. Ditambah mental Mia yang tenang membuat lawan-lawannya tampil tidak optimal.

Seiring berjalannya waktu, Mia yang beranjak usia mulai terkena masalah dan itu mulai mempengaruhi karirnya di dunia bulutangkis. Salah satu masalah yang berpengaruh terhadap karirnya adalah kematian sang ibu dan masalah pribadi dengan ayahnya. Perlahan-lahan prestasi Mia merosot dan akhirnya terdepak dari pelatnas. Mia yang memutuskan nikah muda dengan seorang pria warga negara Belanda akhirnya turut hijrah bersama sang suami ke negeri Kincir Angin tersebut. Sebuah keputusan yang cukup mencengangkan para penggemar bulutangkis seperti saya. Keputusan yang cukup berat didengar. Mia pun hengkang ke Belanda.

Lama tak terdengar kabar, tiba-tiba Mia mulai melejit lagi. Setelah berprestasi menyabet medali perak di olimpiade Atlanta, dan masih membela Indonesia, delapan tahun berikutnya Mia menyabet medali perak juga di olimpiade Athena, dan itu sudah membela Belanda. Ya, Mia mempersembahkan sebuah medali perak dari cabang olah raga bulutangkis untuk negeri berbendera merah putih biru tersebut.

Dulu, saya pernah membaca sebuah berita mengenai Mia. Saat awal-awal pindah ke Belanda, Mia mengalami kesulitan untuk berlatih. Gedung latihan yang tidak se-banyak di negeri kita, ditambah partner latihan yang tidak se-hebat pemain-pemain Indonesia membuat Mia agak sulit beradaptasi, butuh waktu sekitar dua tahun untuk Mia kembali berprestasi. Dan puncaknya adalah merebut perak Athena di 2004. Faktor Mia meraih medali perak tersebut rupanya menjadi tonggak sejarah baru perbulutangkisan Belanda.

Sejak saat itu, Belanda rupanya mulai memiliki atlit-atlit Bulutangkis yang mampu berhelat di kancah Internasional. Apalagi atlit China, Yao Jie, turut membela tim merah putih biru tersebut. Bahkan di Perebutan piala uber 2006 di Tokyo, Tim Belanda berhasil masuk babak final meskipun harus puas menjadi runner up karena kalah dari tim China. Ini merupakan prestasi yang membanggakan bagi tim tulip tersebut. Dan Mia Audina lah yang menjadi tunggal utamanya, selain nama-nama atlit asli Belanda lainnya yakni Judith Meulendijks, Karina de Wit, dan Rachel Van Cutsen.

Kini beberapa atlit Belanda bahkan sudah mulai mampu bersinar di kancah internasional. Sebut saja Judith Meulendijks, atau Dicky Palyama dan Eric Pang di nomor putera.

~hs~

Mungkin tulisan ini tidak menggambarkan sebuah negeri bernama Belanda dari sisi ilmu sains. Namun sisi sosial sebuah olah raga yang sama sekali tidak tenar di negeri tersebut, dan kini mulai memiliki penggemar.

Dalam pandangan saya, perbulutangkisan Belanda sudah mulai menampakkan diri di dunia internasional. Dan momentum perubahan tersebut dimulai ketika seorang atlit negeri kita, bernama Mia Audina, hijrah dan berprestasi untuk negeri Belanda. Ikatan yang kuat antara Indonesia dan Belanda, makin direkatkan oleh para atlit Indonesia atau atlit keturunan Indonesia yang membela Belanda. Mia Audina yang menjadi pioneer, berhasil memperkenalkan nama Belanda di kancah bulutangkis puteri dunia.

Saya membaca sebuah artikel dari harian surya online, pemain Belanda tampaknya harus terbiasa berlatih tanpa pembantu. Maksudnya hanya pelatih dan pemain saja. Mulai dari urusan latihan, hingga merapikan shuttle cocks dan mengepel lantai, itu akan menjadi tanggung jawab bersama antara pemain dan pelatih. Hal ini rupanya sangat jauh berbeda dengan kondisi di Indonesia. Mulai dari gedung olah raga yang bertebaran di Indonesia, hingga pengelolaan lapangan, semuanya ada yang mengatur jika di negeri kita. sedangkan di Belanda sana, mereka harus memperjuangkannya sendiri. Inilah yang menjadi factor pembeda. Namun, saya patut mengacungkan dua jempol untuk Mia Audina dkk yang berhasil menorehkan nama Belanda di perhelatan perbulutangkisan puteri dunia.

Semoga selepas pensiunnya Mia dari Bulutangkis, Belanda akan tetap mampu bersaing dengan tim-tim lainnya baik di eropa, maupun di tingkat dunia. Indonesia, yang dalam hal perbulutangkisan masih disegani Belanda, agaknya harus pula mewaspadai kekuatan bulutangkis puteri Belanda yang mulai memperlihatkan sinarnya.

Tidak ada komentar: